Pelajaran dari Jokowi

Abdul Hamid
Memoar
Published in
3 min readFeb 12, 2024

--

Dua puluh enam tahun reformasi, Indonesia ternyata baru bisa menghasilkan pemimpin populis. Setelah dua periode, Jokowi ternyata hanya menawarkan kebebasan, kemajuan, dan pertumbuhan ekonomi yang semu. Hutang negara di akhir kepemimpinannya banyak dihabiskan untuk biaya kampanye anaknya.

Karena bantuan sosial, ia kelihatan amat peduli pada rakyat kecil. Tetapi publik kian menilai ada “udang di balik bansos”. Menteri Keuangan bahkan sampai dibuat tak berdaya untuk mengontrol keuangan negara yang jadi pekerjaan utamanya. Bansos disalurkan seolah rakyat kecil sedang amat kelaparan sehingga perlu disuapi sembako sebanyak-banyaknya.

Para penerima bansos merasa panen hadiah sebelum sang presiden lengser. Mereka tidak menanyakan dari mana bansos itu, karena yang mereka tahu Jokowilah yang paling berperan dalam bantuan-bantuan sosial selama ini. Mereka lalu gelisah, bansos tersebut mungkin bisa sirna setelah Jokowi lengser. Tak ada cara lain, untuk melanggengkannya mereka harus memilih calon pemimpin pro Jokowi.

Barangkali hanya menteri keuangan dan para intelektual yang menilai bansos itu berlebihan. Bukan karena cuma digunakan untuk bahan kampanye tetapi juga mikir soal utang negara yang hanya jadi tahi, ludes untuk hal konsumtif bukan untuk subsidi yang produktif.

Kita mengenal Jokowi dari kegiatan blusukan. Dia dibesarkan media, dipercaya para intelektual, dan dicintai rakyat kecil. Namun kini dia didukung oleh orang-orang culas dan tak tahu malu. Jokowi barangkali sudah nyaman jadi pujaan rakyat, nikmatnya berkuasa, sampai lupa pada nilai-nilai ksatria. Ini dilakukannya di tengah jalan atau sudah dalam rancangan besar sejak awal, kita tidak tahu.

Yang kita lihat, di ujung masa jabatannya sebagian orang dan kelompok pendukungnya kecewa. Tetapi ia tak kehabisan pendukung. Dia berhasil mendapatkan dukungan dari orang-orang yang dulu jadi rivalnya. Semua seolah sudah dikondisikan. Gugur satu pendukung, tumbuh seribu partisan. Dari dia kita bisa tahu musuh pun bisa ditundukkan.

Dari Jokowi juga kita belajar bahwa seseorang bisa punya partai tanpa harus membangunnya. Partai yang mengklaim diisi oleh anak-anak muda berinisial PSI masif betul membuat poster yang ada gambar Jokowinya. Biar terlihat partai mereka pro Jokowi. Sampai-sampai mereka menuliskan jargon “PSI partainya Jokowi”.

Yang bersangkutan tidak gusar dan menegur pembuat poster itu. Jokowi tidak berpikir bahwa bahwa ungkapan itu bisa menyinggung partai yang membesarkannya.

Data survei kepuasan rakyat pada kinerja Jokowi jadi alasan sekian partai untuk mendukungnya. Ini mengesankan seolah semua warga negara cinta pada Jokowi. Pihak yang haus dukungan rakyat mesti merapat kepada Jokowi, agar kebagian “harumnya”.

Namun waktu yang tak berpihak pada Jokowi. Masa jabatannya habis walaupun rakyat kecil sudah sangat cinta padanya.

Dia adalah pencetus jargon “kerja, kerja, kerja” untuk menandingi orang-orang yang cuma omon-omon. Ia ucapkan kata itu tiga kali. Lalu kita juga mendengar ada isu dia ingin tiga periode. Mungkin ingin mewujudkan ucapan “kerja” yang ketiga. Saking gila kerja, dia masih belum menyerah untuk memegang kendali negara meski waktu tak memihak padanya.

Bukan tanpa hadangan, Jokowi banyak dapat pertentangan juga. Dia tidak disetujui elite partai yang melahirkan namanya. Tetapi ia tahu bahwa apa yang dihadapinya hanya perkara sulit, bukannya tidak mungkin untuk diatasi. Ia mungkin kehabisan nama yang dapat dipercaya untuk menerima “legacy”-nya. Barangkali ia takut seperti dirinya yang di ujung jalan berbelok, tak menderangarkan lagi nasehat-nasehat dari jejaring pendukung lama yang memberinya amanat.

Maka ia mengutus anak sulungnya. Selain waktu, kali ini konstitusi yang tak memihak padanya. Gibran dinyatakan belum cukup umur. Meski demikian dia tak kehabisan cara karena ia sudah punya pengalaman dalam menundukkan musuh. Konstitusi negara akhirnya juga tunduk padanya. Para ahli hukum tata negara dibuat melongo sambil juga berkata dalam benaknya kira-kira begini, “Kok ada orang yang se-random ini”, “Ada ya, orang seculas ini”.

Dari Jokowi kita belajar, untuk menjadi culas kita bisa berjamaah. Atau mungkin rumusnya harus berjamaah untuk membuat semuanya beres. Untuk bisa memuluskan segala rencananya, satu hal lagi yang dia pegang: menahan rasa malu. Orang-orang menyebut anaknya sebagai anak haram konstitusi. Untuk bisa terus menjalankan rencananya, ia tinggal tidak perlu menggubris suara-suara itu dan bisa menahan malu.

Pemilu 2024 diwarnai dengan berbagai usaha Jokowi untuk melanggengkan diri. Dari Jokowi kita bisa belajar bagaimana cara menundukan lembaga-lembaga negara. Dari Jokowi kita belajar bahwa pemimpin yang lahir dari rakyat pun bisa berkhianat. Dari Jokowi kita bisa paham bahwa pemimpin tidak cukup yang hanya bisa kerja, tetapi juga yang bisa mendengar nuraninya.

Dari Jokowi kita belajar bahwa sebaik-baiknya keberpihakan itu kepada nilai-nilai, bukan ditaruh kepada pundak seseorang.***

--

--