Nasib Reformasi dalam Puisi

Abdul Hamid
4 min readAug 30, 2023
Buku karya Afnan Malay, kumpulan puisi tentang 25 tahun reformasi. Photo by: Abdul Hamid.

Reformasi sudah memasuki seperempat abad dalam perjalanan Indonesia untuk membangun kehidupan yang demokratis. Dua puluh lima tahun terbilang terlalu singkat untuk menilai perjalanan berbangsa dan bernegara, tetapi bukan berarti kita sah membiarkan peristiwa bersejarah ini sebagai angin lalu saja. Seiring berjalannya waktu banyak generasi muda yang lahir tanpa mengalami masa-masa sulit di era rezim orde baru. Agenda reformasi dengan segala seluk beluk sejarahnya mesti diketahui oleh generasi muda. Peristiwa-peristiwa heroik perjuangan reformasi memang sudah menjadi masa lalu. Tetapi diskursus tentang poin-poin perjuangan reformasi tetap harus berlanjut.

Para aktivis 98 maupun akademisi telah banyak melahirkan karya tulis yang berkaitan dengan reformasi. Mulai dari buku-buku sejarah yang bernuansa akademis, humor para mantan tahanan politik, novel, cerpen, hingga puisi. Salah satu buku puisi yang patut dibaca adalah Tukang Cukur Tuan Presiden gubahan Afnan Malay. Yang menarik dari antologi puisi ini adalah penulis tak hanya mengajak kita merenungi peristiwa reformasi, tetapi juga merangsang kita untuk berpikir tentang kondisi politik dan tabiat para penguasa di Indonesia saat ini pasca reformasi.

Penulis adalah seorang aktivis 98 yang kemudian pernah menjadi bagian dari kekuasaan setelah Suharto tumbang. Maka puisi-puisinya di buku ini adalah hasil perenungan atas kenyataan yang dia temukan selama 40-an tahun terakhir. Bagi yang belum akrab dengan nama penulisnya, di bagian epilog Nezar Patria menjelaskan sekilas mengenai sepak terjang Afnan Malay.

Ia disebut sebagai seorang demonstran yang agak berbeda dari yang lain. Cara dia melawan penguasa adalah dengan puisi-puisi yang mengungkap ironi kekuasaan dengan untaian kata-kata yang liris. Sajak-sajaknya mampu membakar semangat perjuangan. Salah satu karyanya yang melegenda adalah sajak Sumpah Mahasiswa.

Sumpah Mahasiswa

Kami mahasiswa/i Indonesia mengaku:
Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa/i Indonesia mengaku:
Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan
Kami mahasiswa/i Indonesia mengaku:
Berbahasa satu, bahasa kebenaran

Sajak yang diadopsi dari Sumpah Pemuda 1928 itu hingga kini masih dibaca di kampus-kampus atau di jalanan oleh para demonstran. Puisi-puisi yang digubah Afnan Malay sarat dengan kritik sosial. Contohnya dapat kita simak dalam puisi Aku Ingin Lebih Banyak Badut. Penulis mengungkap ironi di Indonesia saat ini khususnya dalam dunia politik yaitu kebanyakan tukang pidato. Badut dipandang lebih baik daripada pengumbar janji. Usahanya dalam membuat orang tertawa lebih efektif ketimbang para tukang bicara yang konon ingin menyejahterakan rakyat.

".... karena badut tidak pernah mengumbar kata-kata. baru membalikkan kedua tangan saja, orang-orang terbahak. lupa nestapa yang berteriak kasar pagi tadi, ....." (hal. 23).

Masih seputar perilaku politisi, dalam puisi "Bung!" (hlm. 26) Afnan Malay menyebut tentang nama besar tokoh nasional yang dimanfaatkan untuk mendulang popularitas.

Bung!

namamu masih dipakai
bung!
atas nama rakyat jelata
demi raih angka jumawa
mengerek suara mereka
merengek-rengek kuasa
namamu masih dipakai
bung!

Sekarang mari masuk ke gedung parelemen. Afnan Malay menggambarkan bahwa gedung ini tempatnya "orang-orang wangi" tetapi juga berisi orang-orang penghardik, para ahli adu siasat, dan orang-orang itu kerap dikutuk juga.

Parlemen Kami (1)

kumpulan orang-orang wangi
bila langit berlapis-lapis tinggi
kami tengadah tak jua terjamah
sembunyi di lapis paling sunyi

Parlemen (2)

rapat dengar pendapat tiba
para pengurus negara dikutuk
jadi tersangka, bagai baju kerimuk
lupa disetrika, bla bla bla hardik
bla bla bla cabik. adu siasat diburu
..........(dst)

Penulis juga menyingkap keresahan tentang 25 tahun reformasi. Ada luka yang belum terobati, salah satunya adalah mengenai keberadaan Wiji Thukul yang hingga seperempat abad reformasi ini masih belum jelas juntrungannya. Kasus penculikan aktivis tersebut tak jadi perhatian para pemangku kebijakan.

.....
wahai penguasa laknat, siapakah kalian
dari tahun ke tahun tipis telingamu kami lukai
coreng moreng mukamu ditikam dungu,
tuli ditanya, Wiji di mana

(Hlm. 33)

Afnan Malay juga menyebut di era pasca reformasi ini masih terdapat perampasan tanah atas nama pembangunan nasional. Dalam sajak berjudul "Orang Wadas", penulis memberi contoh tentang ruang hidup rakyat yang hilang akibat pembangunan bendungan.

"orang-orang wadas
dibelah duka air bendungan..."

Rakyat secara umum juga menjadi perhatian Afnan. Ia menyebut bahwa rakyat adalah pencari alamat untuk pekerjaan, pendidikan, hak pilih, dan lain-lain.

Pencari Alamat

rakyat adalah pencari alamat
ke mana mereka mendapat kerja
menarung asa, kenapa kalian bisa.....

Secara keseluruhan puisi-puisi ini mengajak kita untuk memahami kondisi kekuasaan dan rakyat Indonesia saat ini pasca reformasi. Perhatian penulis di antaranya adalah pada bagaimana cara penguasa hari ini memenuhi hak-hak rakyat, menghadapi pelanggaran HAM di masa lalu, nasib rakyat saat ini, dan watak para politisi yang menjadi lokomotif bagi perjalanan demokrasi kita hari ini.

Memahami keadaan lewat untaian puisi memang kerap masih menyisakan teka-teki. Tetapi uraian Afnan Malay merupakan lecutan bagi kita untuk terus aktif mengawal perjalanan demokrasi yang masih belum matang ini.***

Judul: Tukang Cukur Tuan Presiden (sajak-sajak 25 tahun reformasi)
Penulis: Afnan Malay
Terbit: 2023
Penerbit: Interlude

--

--