Menjadi teman mimpi anak desa

Adi bermimpi ingin menjadi arsitek. Bocah kelas 4 SD itu ingin membangun rumah. Entah untuk siapa.

Abdul Hamid
2 min readAug 16, 2023

Bertanya tentang mimpi anak saja tidak cukup bila asa ingin memperbaiki kehidupan desa bercokol dalam hati kita. Menjadi teman mimpi mereka adalah mutlak perlu dilakukan. Kehidupan desa yang tertinggal akan melahirkan anak-anak yang sial. Padahal, sejatinya sejak lahir mereka diberi potensi yang sama dengan orang kota yang taraf hidupnya lebih maju.

Katakan lebih dulu bahwa kehidupan desa tak lagi dapat perhatian sejak lama. Urbanisasi telah melupakan kehidupan di desa. Orang-orang desa kehilangan jati dirinya yang mendiri sejak dulu. Tanpa negara pun desa masih tetap bisa hidup, kasarnya begitu.

Beberapa anak desa seperti Adi mampu keluar dari keterbatasannya. Ia berangkat ke kota mengenal ilmu pengetahuan, sejarah, dunia, dan lain-lain. Tetapi di sana ia tidak tahu dirinya berasal dari mana dan harus digunakan untuk apa hidupnya. Kurikulum sekolah menuntunnya untuk hidup sejahtera sendiri. Ia tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.

Adi sudah memegang cita-citanya kini untuk menjadi arsitek. Mimpi itu perlu kita sambut, kita temani, sambil berbagi apa-apa yang dibutuhkannya. Kebutuhan anak desa seperti Adi sangat sederhana seperti alat tulis, alat gambar, buku-buku cerita, dan kata-kata bersahabat saat ia melakukan kesalahan.

Menemani mimpi Adi bukan berarti perhatian kita sepenuhnya dicurahkan kepada soal bagaimana ia agar menjadi arsitek. Profesi itu akan menjadi identitas masa depannya, sedangkan identitas masa kininya sebagai orang desa sering dilupakan.

Indonesia hingga hari ini lebih bisa dikatakan banyak melahirkan intelektual yang cukup untuk dirinya sendiri. Tidak banyak sosok cendikiawan organik yang mampu memimpin masa depan daerahnya.

Maka Adi harus menjadi orang desa yang sadar kelas. Bukan untuk memisahkan diri dari kelas lain, tetapi untuk mengukuhkan perjuangan keilmuannya, menjadi pemimpin bagi kelasnya.

Ilmu tidak melulu benar sebab ada juga yang menyesatkan. Contohnya adalah ilmu yang menghilangkan empati, menyuburkan apatisme, dan membuat kita miskin imajinasi tentang perjuangan untuk memperbaiki kehidupan yang tidak adil.

Pendidikan mesti melahirkan orang seperti Tirto Adho Suryo, R.A Kartini, Dewi Sartika, dan pendahulu kita lainnya yang membawa kesadaran untuk merdeka. Sayangnya, mereka tidak bisa hidup ribuan tahun untuk melanjutkan perjuangannya. Maka siapa lagi selain anak-anak seperti Adi yang akan melanjutkan perjuangan itu?

Tokoh-tokoh tersebut sama-sama dekat dengan kelasnya yang lain baik itu kelas inlander dan kelas orang Eropa. Mereka tidak anti pada pendidikan Eropa. Tetapi juga tidak tenggelam dalam keadaan serba enak dibandingkan kelsa di bawahnya. Ia gunakan ilmu Eropa itu untuk memimpin perubahan kehidupan pribumi. Bukan untuk mengejar karier pribadi. Waktu mereka dihabiskan untuk menemani mimpi-mimpi anak pribumi yang tidak tahu apa yang terjadi saat itu.

Diandaikan kelas menengah itu sedang berada di puncak anak tangga, ia turun meninggalkan gemerlap mimpi kelas menengah lainnya dan menghampiri anak-anak desa. Empati menuntun ia ke anak desa yang marjinal. Cita-citanya menyatu dengan anak-anak desa.***

Cimenyan, 15 Juni 2020.

--

--