Membangun Sikap Politik yang Produktif

Abdul Hamid
Memoar
Published in
4 min readFeb 9, 2024

--

Photo by Colin Lloyd on Unsplash

Sikap politik kita paling tidak ditagih setiap lima tahun sekali. Kepada siapa suara kita memihak — dengan kalimat yang lebih jentre — “mau nyoblos siapa?” Betul, dan saya sepakat bahwa cara berpolitik kita sebagai warga NKRI sangat sempit, hanya merujuk pada saat memilih legislatif dan eksekutif.

Sebagaian besar kita yang menjalani hidup sebagai mahasiswa, pelajar, buruh, guru, pengusaha, dan lain-lain tidak menggunakan kaidah-kaidah yang politis. Bahkan politisi sekali pun ada yang lebih mengejar pemenuhan ekonomi pribadi dibanding memproduksi kebijakan politik untuk kemaslahatan rakyat.

Istilah politis ini merujuk pada terminologi “polis” sebagai akar kata dari politik. Secara khusus, saya memahami politik sebagai aktivitas untuk mengelola kehidupan bersama. Sebagai makhluk sosial kita menciptakan perdagangan agar bisa saling memenuhi kebutuhan. Untuk memastikan perdagangan itu tidak ada kecurangan dan berjalan dengan etis, maka kita menciptakan politik untuk kemudian melahirkan aturan main. Tidak hanya urusan dagang, politik juga mengatur seluruh aspek kehidupan kita dalam satu negara dan satu planet.

Itu mengapa ada pajak pada setiap aktivitas dalam negara apalagi jika menyangkut hajat hidup orang banyak. Pedagang kecil punya aturan main, pemborong besar juga punya peraturan yang harus dipatuhi.

Pada setiap butir telur yang dibeli ibu kita dari warung ada kaitannya dengan politik, terhubung dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh para anggota dewan dan eksekutif. Dengan kata lain, sebagai warga negara kita tidak bisa lepas dari politik, sebodoh apa pun kita, semasa bodoh apa pun kita. Jika tanpa kesadaran, maka aktivitas politik yang menyehari itu akan kita terima begitu saja (taken for granted). Hasilnya, tak ada daya kritis pada setiap kebijakan publik meski dampaknya kita terima.

Memilih Golput

Hingga hari ini saya masih menghayati kesejatian makna dari politik. Saya melakukannya untuk memenuhi rasa penasaran dan ingin memastikan setiap tindakan yang saya lakukan punya juntrungan yang jelas. Dengan kata lain ingin keluar dari situasi “taken for granted”.

Pemilu selalu menjadi momentum khusus bagi saya untuk memahami politik. Misalnya, dari momen ini saya bisa mengenal suatu sikap politik golput atau “golongan putih”. Gerakan yang dipopulerkan oleh aktivis Arief Budiman pada pemilu 1971 ini merupakan upaya politis yang dilakukan secara sadar dan kritis.

Sebagian orang yang tidak paham betul soal gerakan ini bisa jatuh ke dalam apatisme. Sejak awal dicetuskan, orang-orang golput tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan mencoblos kertas putih, alih-alih gambar calon atau partainya. Putih juga diartikan sebagai lawan dari kuning sebagai simbol Partai Golkar yang saat itu mendominasi perolehan suara pemilu.

Pada pemilu 2019 saya memilih golput. Saat itu saya pikir tidak ada kandidat ideal untuk dipilih. Apalagi soal calon legislatif (caleg). Gelap. Masa saya harus memilih orang yang tidak saya kenal. Beli kucing dalam karung, dong! Tahun ini saya berusaha untuk menguji relevansi golput pada kenyataan hari ini.

Memang, saya selalu tidak sreg dengan tontonan atau pembicaraan politik sejak 2014/2017. Saya pikir, semua orang yang terlibat dalam politik praktis itu kotor. Mereka semua adalah status quo yang mesti dihancurkan. Mereka adalah teman-teman para koruptor atau bahkan mereka yang saya lihat adalah koruptor itu sendiri. Apalagi saat tahu ada ketua partai yang memiliki usaha-usaha yang merusak lingkungan, rasanya politik itu amat kotor.

Alternatifnya, saya memegang dua sikap. Pertama, membangun partai alternatif dengan menjunjung tinggi demokrasi parlementer. Kedua, mengandaikan kehidupan tanpa birokrasi negara alias anarkisme.

Pikiran tersebut selalu saya uji. Jangan sampai saya terjebak dalam kesesatan berpikir hingga situasi itu menjauhkan saya dari pemahaman yang tepat.

Setelah mengamati hiruk pikuk kehidupan di desa selama paling tidak 3–4 tahun sejak 2020–an saya bisa meninggalkan cara berpikir tersebut. Saya bisa melihat golput bukan satu-satunya cara yang tepat untuk mengisi demokrasi. Setinggi apa pun nilai politik yang kita pegang, untuk memahami realitas politik praktis kita tetap harus menengoknya lebih dalam.

Di saat inilah saya pikir keputusan golput itu naif setidaknya untuk pemilu 2024 ini. Golput jadi terkesan selemah-lemahnya iman untuk memperjuangkan keadilan di situasi yang demokrasinya belum sempurna ini. Bolehlah golput, tetapi juga mesti dibarengi usaha konkret untuk membentuk organisasi pergerakan politik akar rumput alternatif.

Kita membutuhkan gerakan politik alternatif yang produktif. Sikap golput yang tidak menawarkan solusi adalah sikap politik yang kontraproduktif. Sikap saya pada 2019 tak ubahnya seperti “lepas tangan” atas realitas dan merasa cukup untuk menjadi pengamat dan “pembacot”.

Ibarat juru masak yang tahu cara memasak makanan enak tapi tidak mau terjun karena takut tangannya kotor atau kuatir masakannya tidak seideal yang dibayangkannya. Chef seperti itu lebih mendewakan masakan enak dalam imajinasinya ketimbang mewujudkan masakan yang bisa dicicipi oleh semua orang. Kita bisa melihat bagaimana rasa pikiran golput juga diam-diam menyimpan ketakutan untuk bertanggung jawab saat memilih sesuatu. Golput juga berarti memilih jadi anak soleh tanpa berbuat apa-apa yaitu karena tidak nyolong atau menipu. Bukan saleh karena memberantas korupsi atau membuat orang bisa terjamin makanannya.

Pikiran ini saya dapat setelah menyimak beberapa percakapan dari orang-orang yang pernah terlibat dalam politik praktis. Dengan segala keterbatasan birokrasi pemerintahan, toh ada juga pemimpin daerah yang bisa mewujudkan kebijakan yang maslahat, yakni memperbaiki kualitas hidup rakyat.

Politik kita saat ini memang dipenuhi transaksi untuk keuntungan pribadi, tercermin dari kasus korupsi yang tak kian surut. Tetapi bukan berarti politik itu sendiri menjadi barang haram. Cara berpikir hitam-putih ini memang membuat realitas begitu sempit.

Kita perlu memandang keadaan sebagai spektrum kompleks yang tidak hanya berisi orang baik dan jahat. Idealisme juga perlu dibangun dengan pikiran-pikiran realistis, sistematis, dan terukur. Ini akan berlaku bagi siapa pun yang ingin bersikap politik dengan bertindak atau menawarkan solusi.

Bagi saya, sebaik-baiknya kritik adalah yang bisa menawarkan solusi. Memang kritik tidak memerlukan solusi. Saya menyetujui itu. Tetapi posisi saya di sini bukan seperti pemerintah yang saat dikritik marah dan mengungkapkan kata-kata di atas. Bentuk dari kritik dengan solusi adalah menawarkan inovasi atau antitesis yang bisa menimbulkan tindakan/aksi perbaikan. Jika tidak bisa include solusi, paling tidak kritik itu bisa mengungkap akar masalah secara radikal, seperti mencabut rumput sampai akar-akarnya.***

--

--