Lentera yang Dinyalakan Kiai Nur Iman Mlangi

Abdul Hamid
4 min readAug 23, 2023
Suasana di dalam Masjid Jami' Al-Munawwir Krapyak, Kab. Bantul, DIY (23/8/2023). Pendiri ponpes ini merupakan salah satu keturunan Kiai Nur Iman. Photo by: Abdul Hamid.

Pada Selasa 22 Agustus 2023 petang saya bersama adik tiba di Mlangi, salah satu dusun yang berada di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY. Jalan utamanya setelah masuk perkampungan hanya pas untuk dilewati satu mobil. Di atas jalanan beraspal itu terlihat dua anak yang tengah bermain bulu tangkis dengan busana kaos oblong dan sarung. Meski pemukimannya terlihat padat tidak banyak lalu lalang kendaraan si sana sehingga minim polusi udara dan suara.

Jalan masuk ke Dusun Mlangi, Nogotirto, Gamping, Kab. Sleman (23/08/2023) photo by: Abdul Hamid.

Semakin petang, jalanan semakin sepi. Warung-warung tutup, tak ada pemuda atau sekumpulan orang tua yang nongkrong di pinggir jalan. Sejak beduk magrib, serempak semua orang di sini berada di dalam kediaman masing-masing. Bukan untuk menonton TV tapi untuk salat, wirid, dan mengaji.

Di sini terdapat belasan pondok pesantren. Jumlahnya konon mencapai 17 pesantren. Kegiatan selepas magrib di sana mirip seperti kampung-kampung orang Islam pada umumnya. Jika Mlangi dikatakan sebagai pesantren yang ada sejak 1700-an masehi, kegiatan mengaji quran selepas magrib yang sudah jadi tradisi di kampung-kampung itu bisa jadi berawal dari sana.

Di Mlangi, antara santri dan penduduk tak ada bedanya. Mereka juga melakukan ritual keagamaan sebagaimana para santri dan santriwati. Keduanya lantas menjadi elemen pendidikan pesantren di Mlangi yang tidak bisa dipisahkan.

Bila anda pecinta ilmu, Mlangi adalah tempat yang cocok untuk mencurahan rasa cintamu tersebut. Masyarakat di sini menomorsatukan ilmu dibandingkan harta atau jabatan. Setelah ilmu, yang dihormati selanjutnya adalah orang yang lebih tua.

Ruangan aula salah satu Pondok Pesantren di Mlangi, PPM Aswaja Nusantara yang dipimpin Kiai Muhammad Mustafid (22/8/2023). photo by: Abdul Hamid

Di sini, kehidupan islami sudah menjadi lakon hidup. Bukan semata-mata sebagai identitas atau bentuk kepatuhan pada aturan tertulis. Di Mlangi tak ada papan pengumuman untuk melarang penduduk maupun santri keluyuran di jalan. Tak ada juga larangan tertulis membuka warung selepas magrib. Tetapi semua penduduk melakoni apa-apa yang dapat mendukung jalannya ibadah dan menuntut ilmu itu dengan kesadaran sendiri. Para muda-mudi praktis terkendali dari pergaulan bebas. Ada prinsip bahwa anak tetangga anak kita juga. Jadi timbullah saling menjaga satu sama lain.

Agama Islam di Mlangi menancap di masyarakat dan menjadi budaya. Semua itu berkat ikhtiar dan perhatian penuh Kiai Nur Iman (1708-1744) terhadap ilmu, keislaman, dan pendidikan untuk masyarakat. Beliau merupakan seorang pangeran kerajaan Mataram yang lebih hobi mengajar di tengah masyarakat ketimbang hidup berkuasa di lingkungan keraton.

Dijuluki juga sebagai RM. Sandiyo, Kiai Nur Iman adalah anak kandung Prabu Amangkurat IV (RM. Suryo Putro). Ibunya bernama RA. Retno Susilowati. Jika saudara-saudaranya yang lain (berbeda ibu) lahir di keraton, Kiai Nur Iman justru keluar dari kandungan dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Ia dititipkan ayahnya yang saat itu perlu kembali ke istana kepada kiai Abdullah Muhsin, pimpinan pesantren Gedangan Surabaya.

Kiai Nur Iman bisa saja menjadi penguasa seandainya ia mau. Tetapi beliau memilih untuk hidup memasyarakatkan ajaran Islam, menjadi pemimpin dan teladan bagi kaum non bangsawan yang tidak punya akses pendidikan saat itu. Apa yang dilakukan Mbah Nur Iman telah membuat pendidikan menjadi inklusif. Beliau melakukan apa yang orang kini disebut "jemput bola". Di zaman keraton saat itu, hanya keturunan bangsawan yang bisa mengakses pendidikan agama dan dikenalkan cara hidup yang beradab.

Walhasil, pembangunan sumber daya manusia berjalan lewat pesantren-pesantren hingga kini. Bersama kedua sahabatnya, Kiai Sanusi dan Tanmisani, Mbah Nur Iman membuat ruang-ruang pendidikan yang dikemas dalam bentuk pesantren selama melakukan perjalanan pulang menemui ayahnya di Mataram. Para alim itu meninggalkan jejak berupa pesantren-pesantren yang berada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Memang sejak awal Mbah Nur Iman tidak punya niatan untuk pergi ke istana. Hal ini terpaksa dilakukan karena ayahnya sudah mengirim utusan untuk menjemputnya.

Di kemudian hari saat sudah tiba di Keraton, terjadi percekcokan di antara dua adiknya yaitu Pangeran Sambernyowo dan Pangeran Mangkubumi. Situasi ini membuat Mbah Nur Iman gerah hidup di istana kemudian memilih keluar dari keraton untuk kembali terjun ke masyarakat. Jika ayahnya dulu sempat minggat dari keraton ke arah timur, kiai Nur Iman memilih ke arah barat. Beliau mendapat petunjuk agar mendirikan kegiatan pendidikan di wilayah yang bercahaya dan berbau wangi. Setelah ditemukan wilayah itu, dinamailah tempat tersebut dengan istilah Mlangi. Mlangi adalah singkatan dari "melang-melang" yang berarti cahaya dan "wangi" atau berbau harum. Istilah ini juga berkonotasi pada "mulangi" yang artinya mengajar. Maksudnya adalah tempat mengajar agama Islam.

Saya berfoto dengan pengasuh PPM Aswaja Nusantara, Kiai Muhammad Mustafid. (23/8/2023) photo by: Abdul Latif.

Kehidupan Mbah Nur Iman sejatinya telah meniupkan ruh pendidikan Islam dan keraton Jawa untuk menjadi pegangan hidup masyarakat. Pendidikan itu kemudian berhasil mengkristal menjadi laku hidup atau budaya di masyarakat. Meski sudah tiada, ajaran Mbah Nur Iman hingga kini masih terus lestari karena keteladanan itu terus berlanjut. Lewat anak-anak, kerabat-kerabat, dan sahabat-sahabatnya misi pendidikan pesantren disebarkan ke penjuru tanah Jawa dan di luar pulau terpadat di Indonesia ini. Keturunannya atas inisiatif masing-masing mendirikan pesantren-pesantren yang kini punya pengaruh kuat di masyarakat. Nama-nama pesantren seperti Ponpes Tegalrejo Magelang, Ponpes Krapyak, Lirboyo Kediri adalah kelanjutan dari pendidikan Islam yang semula digagas Kiai Nur Iman.

Gerbang Ponpes Al Munawwir Krapyak (23/8/2023) photo by: Abdul Hamid

Sebagaimana yang tertambat dalam namanya, Mlangi menjadi lentera pendidikan Islam yang terus bersinar hingga kini.***

--

--