Dua Prinsip Kepemimpinan Jawa

Makna hamemayu hayuning bawana dan manunggaling kawula gusti

Abdul Hamid
Memoar

--

Photo by Jaime Lopes on Unsplash

Di antara Anda mungkin sudah pernah belajar tentang kepemimpinan. Bahkan sejak kita di sekolah menengah atas kepemimpinan sudah mulai diajarkan. Misalnya, lewat ekstrakurikuler atau kegiatan di luar jam belajar yang formal. Pelajaran ini saya kira jangan berhenti sampai situ. Seiring waktu kita semakin memikul beban. Kepemimpinan bisa membuat kita tahu bagaimana cara memikul amanat.

Belajar kepemimpinan, selain mengenal cara memimpin juga kita didorong untuk tahu bagaimana sikap kita saat dipimpin. Sekarang saya ingin mencoba untuk belajar kepemimpinan dari kearifan lokal Jawa, lewat intisari pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X berikut. Jika ada kesalahan istilah atau makna, tolong koreksi di kolom komentar.

Kepemimpinan yang berwibawa tidak hanya mampu memegang kekuasaan, tetapi juga dapat memelihara keseimbangan dan harmoni manusia dengan alamnya, serta bisa menyatukan pemimpin dan rakyat dalam satu visi dan misi yang sama.

Untuk mencapai itu, Sri Sultan memegang dua prinsip: “hamemayu hayuning bawana” dan “manunggaling kawula gusti”.

Hamemayu Hayuning Bawana

Dalam prinsip ini terkandung kewajiban Tri Satya Brata:

  1. Kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa untuk mewujudkan harmoni hubungan antara manusia dan alam baik dalam lingkup dunia maupun lingkup yang lebih luas dalam seluruh alam semesta. (hamengkunagoro)
  2. Tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia. (hamengkubumi)
  3. Keselamatan manusia bisa diwujudkan oleh manusia itu sendiri. (hamengkubuwono)

Prinsip Hamemayu Hayuning Bawana mengandung misi agung bagi manusia apalagi bisa memahami tiga substansi tersebut: hamengkunagoro, hamengkubumi, dan hamengkubuwono.

Hamengkunagoro memiliki misi untuk menghadirkan negara dan pemerintahan karena Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Negara hadir untuk mengatur kehidupan manusia yang plural agar tidak terjadi saling surup dan saling silang.

Sementara itu, hamengkubumi punya misi ekologis, karena menganggap bumi sebagai lingkungan alam yang telah memberikan sumber penghidupan manusia untuk dapat melanjutkan keturunan. Maka dari itu manusia wajib memelihara kelestariannya.

Hamengkubuwono sendiri punya makna kewajiban manusia yang lebih luas dalam mengakui dan menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta agar tetap memberikan kekuatan bagi kehidupan manusia seperti adanya bulan, matahari, dan planet yang lain.

Pada hakekatnya, makna yang tersandang dalam Hamengku, Hamangku, dan Hamengkoni ini adalah tugas dan kewajiban mulia manusia untuk mengagungkan asma Allah seiring menjadikan perbuatan baik kepada sesama dan alam lingkungannya, serta bukti bahwa ia benar-benar hidup.

Manunggaling Kawula Gusti

Manunggaling kawula gusti memuat nilai demokrasi. Demokrasi sendiri dipahami Sri Sultan tidak akan datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Demokrasi memerlukan ikhtiar warga negara dan perangkat pendukungnya. Untuk menjadikan demokrasi sebagai sejatinya pandangan hidup dalam kehidupan bernegara, manunggaling kawula gusti memberikan pengertian bahwa manusia secara sadar harus mengedepankan niat baik secara tulus dan ikhlas dalam kehidupannya.

Dalam hal kepemimpinan, manunggaling kawula gusti adalah mampu memahami dan sadar kapan kita memimpin sebagi leader dan kapan kita dipimpin sebagai followers. Ketika memimpin, kita harus mementingkan kepentingan yang dipimpin, sedangkan pada saat dipimpin kita harus mengikuti kepemimpinan sang pemimpin.

Dalam konteks kejogjaan, pengertian gusti lebih menekankan pada makna institusi kepemimpinan, bukannya pribadi tunggal seorang sultan. Dalam pengertian itu maka ajaran ini sesungguhnya telah mengajarkan sistim demokrasi modern, suatu lembaga kepemimpinan yang terbuka untuk diakses oleh kawula atau rakyat, dan masyarakat luas.

Demikian juga sebaliknya, gusti atau pemimpin harus dengan sangat “ringan kaki” untuk turun ke bawah berdialog dengan kawula atau rakyatnya. Dalam konteks sejarah, praktik dari filosofi ini dapat dibaca pada kasus-kasus didapatinya pemimpin yang mampu memenangkan hati rakyat — pemimpin yang amat ringan untuk hadir di tengah rakyat yang sedang mengalami kesulitan dan kebingungan.

Sosok pemimpin itulah yang benar-benar sadar pada makna hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Banyak tokoh dunia dan nasional yang mempraktekkan model kepemimpinan seperti ini dan terbukti berhasil saat memimpin negaranya.

Pada masa lampau kita bisa melihat Gandhi mampu bermanunggaling kawula gusti dengan konsep ahimsa dan satya graha. Dunia juga membuktikan penemuan Sukarno setelah dia melakukan manunggaling kawula gusti dan menemukan istilah “marhaen”. Bahkan Nelson Mandela mampu bermanunggaling kawula gusti bersama rakyat untuk melawan politik apartheid.

Fakta itu seakan menunjukkan dimensi manunggaling kawula gusti sebagai ajaran yang menjadi komitmen bersama antara raja selaku leader dengan rakyat atau followers secara manunggal untuk memutuskan arah pembangunan menuju peradaban baru yang lebih sejahtera, adil, demokratis, dan berbudaya.

Dari Yogyakarta kita bisa melihat bagaimana komitmen Sultan Hamengkubowono IX pada pengalamalan prinsip manunggaling kawula gusti yang dijiwai filosofi Hamemayu Hayuning Bawana. Dengan etos kerja “sawiji greget sengguh ora mingko”, sultan bekerja dengan empati kepada masyarakatnya.

Strategi Kebudayaan untuk Indonesia

Bertolak dari pemikiran pembangunan adalah proses budaya dengan tujuan humanisasi, maka perlu disusun strategi kebudayaan yang setepat-tepatnya. Penyusunan strategi kebudayaan perlu dibuat dengan persepsi budaya yang komprehensif, yang memiliki cakupan luas terhadap seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Strategi kebudayaan dimaksudkan untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian dan dengan segala tantangannya. Oleh sebab itu strategi kebudayaan harus berorientasi ke depan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Maka strategi kebudayaan dapat dirumuskan sebagai “menciptakan tingkat dan suasana kehidupan masyarakat yang bermartabat dan mandiri”.

Strategi kebudayaan mengandung dua aspek penting seperti dua sisi mata uang. Pertama, dalam hal membangun strategi pengelolaan cara bangsa dan warga bereaksi, berpikir, dan bekerja dalam menumbuhkan proses berbangsa. Kedua, merujuk pada strategi menumbuhkan nilai keutamaan berbangsa yang menjadi dasar dari cara bertindak, berpikir, dan beraksi, yaitu dengan misalnya memegang nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, profesionalisme, etika, respek, rasa malu, kerja keras, toleransi, cinta tanah air, dll.

Strategi kebudayaan sesungguhnya mensyaratkan kemampuan menghidupkan filosofi suatu negara dengan sistim hukumnya tanpa lepas dari aspek historisnya. Di sisi lain juga mensyaratkan program kerja dan manajemen bernegara agar secara sosiologis mampu hidup dan dirasakan sehari-hari oleh masyarakat dalam berbagai bentuknya.

Satu hal yang patut digarisbawahi bahwa strategi kebudayaan bukanlah strategi yang hanya bisa tumbuh ketika negara telah mengalami pertumbuhan yang baik. Justru, seluruh strategi kebudayaan yang genial ditumbuhkan ketika negara mengalami dinamika ekonomi dan sosial serta mengalami percepatan perubahan politik seperti halnya Indonesia sekarang.

Di balik strategi kebudayaan ini tidak hanya terdapat cita-cita, tapi juga panduan nilai berbangsa, daya pikir, dan metode pemecahan masalah. Dengan skala prioritas yang memerlukan kepekaan para pemimpinnya akan sense of crisis dan sens of urgency, misi humanisasi atau memanusiakan manusia dan menciptakan suasana dan tingkat kehidupan masyarakat yang bermartabat dan mandiri dalam konteks demokrasi, dapat tercapai apabila para pemimpin dan rakyat sudah meresapi makna Tri Satya Brata.

Hal ini dapat diindikasikan dari nilai “Rayahu ning bawana kapurba waskita ning manungsa”. Bahwa, harmoni demokrasi terjadi secara alamiah dengan tidak terkotak-kotaknya masyarakat hanya karena berbeda calon dan aspirasi, apalagi hujat menghujat dan permusuhan karena berada di pihak yang berbeda kubu dan partainya.

Demikian pula dengan aparat pemerintah dalam konteks pemilihan serentak. Konsep darma ning manungso manani rahayu ning nagoro, hendaknya terejawantah dengan mengedapankan netralitas dan kesahajaan dalam menyikapi hak politiknya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Mereka tetap profesional bekerja melayani masyarakat tanpa terganggu oleh ingar bingar pesta demokrasi.

Dengan adanya sikap tak jumawa dan mengedepankan kelapangan dada, apa pun hasil pemilihan nanti pada akhirnya menunjukkan derajat budaya demokrasi Indonesia. Karena bagaimana pun pemilihan serentak lebih dari sekadar olah politik, pemilu adalah juga olah budaya.***

Tulisan ini disusun berdasarkan pidato Sri Sultan Hamengku Buwono X dari acara Gagas RI bertajuk Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat”.

--

--